Minggu, 29 Maret 2009

Ada Tupai di Cendana



Hari Jumat lalu, tepatnya 8 Juni 2007, aku menghabiskan hampir seluruh waktu di sebuah jalan yang sangat terkenal. Yaitu Jalan Cendana. Sebab di hari itu aku harus meliput hari ulang tahun mantan presiden Suharto yang ke 84 tahun.

Di jalan itu, aku dan bersama beberapa wartawan duduk di trotoar depan rumah Pak Harto. Memang seolah sudah tradisi wartawan akan selalu nongkrong di depan rumah yang luasnya setara dengan empat rumah itu. Ya gimana lagi, kan wartawan dilarang masuk.

Sejak pagi ketika mendapat tugas meliput di sana, aku terbayang betapa membosankannya nongkrong di depan rumah orang yang kabarnya sakit itu. Tapi hal itu segera sirna setelah aku sampai di jalan yang berada di kawasan menteng itu.

Betapa tidak, ternyata suasana di sana sangat sejuk. Jalan yang diapit rumah-rumah mewah itu dihiasi banyak pepohonan rimbun di pinggirannya. Belum lagi banyak wartawan yang asik-asik diajak ngobrol.

Di sana aku bertemu dengan beberapa wartawan TV. Ada yang pernah ketemu waktu liputan di tempat lain dan lama tidak bertemu -soalnya wartawan TV tidak ngepos seperti wartawan cetak – lalu bertemu lagi. Ada juga yang dulu hanya kukenal di TV sekarang jadi kenal beneran.

Obrolan santai kami sesekali terintrupsi oleh masuknya mobil mewah ke dalam rumah bercat hijau pupus itu. Para wartawan bergegas mengamnil alat liputannya dan mencoba mencari tahu siapa yang menyambangi orang yang paling lama jadi presiden di Indonesia itu. Siang itu, paling tidak ada dua orang yang datang, yaitu Menteri Perindustrian Fahmi Idris dan pengacaranya Pak Harto Oce Kaligis.

Kepada wartawan, mereka mengaku Pak Harto masih sakit dan kondisinya lemah, bicara kurang lancar. Tapi Fahmi juga mengatakan –entah sadar atau tidak- Pak Harto saat diajak bercanda tertawa terbahak-bahak. Oce juga begitu, dia mengatakan kliennya sakit permanen dan kondisinya lemah, tapi –entah sadar atau tidak- dia menunjukkan foto dirinya bersama Pak Harto yang di situ terlihat berdiri tegak dan terlihat sehat.

Yang jelas kita tidak tahu Pak Harto sakit atau sehat. Kami kan tidak bisa melihat langsung kondisinya, jangankan masuk rumahnya, menginjak halamannya saja tidak boleh.

Menunggu di sana mulai terasa membosankan saat matahari mulai tergelincir. Para wartawan TV sudah gantikan temannya bahkan ada yang tiga kali diganti, juga wartawan lainnya. Tapi aku, sejak pagi hingga sore masih nongkrong di situ dengan kaki yang mulai pegal-pegal dan kesemutan.

Sambil duduk di tepi trotoar kuperhatikan puluhan karangan bunga dalam pot yang membanjiri teras rumah itu. Bunga yang dikirim oleh berbagai kalangan itu tentu harganya lebih dari Rp50 ribu per buah. Coba kalikan dengan jumlahnya yang puluhan buah. Berapa banyak uang dihambur-hamburkan, sebab karangan bunya itu keesokan harinya pasti berpindah ke tong sampah.

Lamunanku tiba-tiba dibuyarkan oleh gerakan daun dan dahan pohon di rumah keluarga Cendana itu. Seekor tupai kecil terlihat melompat lompat di situ. Ternyata di Jakarta masih ada habitat tupai. Aku jadi ingat belakang rumahku di kampung yang juga banyak tupainya saat aku masih kecil dulu.

Aku jadi ingat, sudah hampir setahun ini aku tak pulang kerumah. Bahkan lebaran yang lalu aku harus tetap masuk kerja, karena aku belum dapat libur. Ibuku sering mengatakan rindu untuk bertemu, namun pekerjaan tak mengizinkan kita bertemu.

Tapi liputan hari itu membuat orang rumah bisa mengobati rindunya dengan melihat diriku dari layar TV. Aku kata mereka sempat beberapa kali tersorot kamera TV saat desak-desakan mewawancarai orang yang bertandang ke rumah itu.

Tapi tupai itu tak tersorot kamera. Maka tak banyak orang yang tahu bahwa di kawasan elit Jakarta itu, di sekitar rumah mantan penguasa Orde Baru, ada kelauarga tupai yang hidup damai.(07/06/11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar