Selasa, 23 Maret 2010

Peniadaan Pemilihan Langsung dan Pembatasan Jabatan


Banyak wacana mengemuka menjelang Muktamar NU. Wacana tidak saja berputar soal figure kandidat namun juga terjadi di tataran sistem. Misalnya muncul wacana agar pemiliha ketua umum tidak dilakukan secara langsung, namun ditunjuk oleh formatur (ahlul halli wal ahdi) yang ditetapkan dalam muktamar yang biasanya para kiai.

Wacana ini diserukan sekelompok anak muda NU menyelenggarakan Halaqah Nasional Warga NU “Muktamirin sebaiknya hanya memilih langsung Rais ‘Am Syuriyah dan dewan kolektif Syuriyah, dan ketua tanfidziyah atas usulan muktamirin, dipilih oleh dewan kolektif syuriyah,” kata salah satu peserta halaqah dari Rumadi.

Rumadi mengatakan cara itu akan mampu membuat kepemimpinan NU menjadi solid. Dia mengatakan dualisme kepemimpinan NU akan terus terjadi manakala tanfidizyah dan syuriyah dipilih langsung oleh muktamirin. Sebab kedua lembaga itu belum tentu bisa cocok.

Wasekjen PBNU Saiful Bahri Ansori mengatakan usulan tersebut memang muncul. Dia mengatakan hal itu bukan hal baru karena pernah dilakukan di Muktamar Situbondo di mana formatur memilih KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi ketua umum.

Namun Saiful mempertanyakan jika usulan ini dikemukakan oleh kalangan muda NU. Sebab pemilihan langsung yang sesuai dengan semnagat demokrasi biasanya yang diusulkan anak muda.

“Anak-anak muda ini kan biasanya inginnya demokratis ini kok pengen cara yang dipilih langsung, ini ada apa di balik itu,” tanyanya.

Selain soal itu, juga muncul wacana pembatasan jabatan ketua umum PBNU. Dalam lokakarya yang diikuti badan otonom (banom) NU akhirnya usulan pembatasan jabatan disepakati. Pembatasan jabatan maksimal dua periode itu diambil dalam siding komisi organisasi pada halaqah pra Muktamar. Namun keputusan finalnya nanti dibahas dalam Muktamar.

Keputusan di halaqah sendiri disepakati dengan mudah atau tanpa adu argumentasi yang panas oleh para peserta. Para peserta yang hadir terdiri dari perwakilan badan otonom, lembaga dan lajnah.

Mereka menyadari pentingnya pengaturan masa jabatan maksimal agar proses kaderisasi di NU tetap berjalan dengan baik. Kesepakatan pembatasan tidak hanya untuk ketua umum PBNU saja tapi juga ketua terpilih di tingkat wilayah atau di bawahnya.

Bahkan, untuk badan otonom yang berbasiskan umur seperti GP Ansor, Fatayat NU, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan pelajar Putri Nahdlatu Ulama (IPPNU), ketua umum diusulkan hanya sekali saja. Saat ini batasan tersebut baru berjalan di IPNU dan IPPNU.

Sebenarnya pada muktamar sebelumnya atau muktamar ke-31 NU yang berlangsung di Asrama Haji Donohudan Solo, usulan tersebut sudah dimasukkan, tetapi gagal disepakati karena adanya protes dari salah satu cabang yang mempertanyakan mengapa berkhidmad harus dibatasi.

Sekedar diketahui, selama ini di PBNU tercatat ada beberapa ketua umum yang menjabat lebih dari dua periode. Ketua umum yang paling lama menjabat adalah KH Idham Cholid yang menjabat selama 28 tahun antara tahun 1956-1984.

Selanjutnya ada juga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjabat selama tiga periode atau 15 tahun antara 1984-1999.

Berbagai peristiwa yang terjadi pra muktamar itu membuktikan bahwa sangat besar dinamika dalam suksesi di tubuh NU. Persaingan ketat tentu akan semakin besar di muktamar.

Direktur Eksekutif IndoBarometer Mohammad Qodari mengatakan dalam memilih pemimpin ke depan NU harus mampu menghadirkan pemimpin yang mampu membawa NU semakin besar. Dia mengatakan pemimpin nahdliyin harus mampu menjadi manajer yang baik.

“NU ini sudah besar, hanya perlu dimanajeri lagi lebih baik sehingga potensinya bisa tersalurkan dengan baik,” tuturnya.

Qodari mengatakan pemimpin NU ke depan harus mampu membuat NU semakin besar. Dia mengatakan banyak potensi NU yang perlu diberdayakan agar lembaga ini semakin besar dan solid.

“Tidak ada salahnya pimpinan NU yang baru nanti merekrut orang-orang hebat yang mengerti manajemen untuk bergabung di kepengurusan PBNU,” sarannya.

Kepemimpinan Muda NU

sumber foto:istimewa

Setiap suksesi atau pergantian kepemimpinan selalu memunculkan wacana mengenai kepemimpinan muda. Di NU hal yang sama juga terjadi. Anak muda dinilai bisa ikut tampil dalam bursa kepemimpinan Nahdlatul Ulama (NU). Apalagi dalam sejarahnya anak mudalah yang berhasil memimpin dan sering memiliki inisiatif dan potensi untuk membesarkan organisasi.

Tokoh NU yang juga Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri menilai anak muda bisa memimpin NU ke depan. Sebab mereka memiliki pandangan jauh ke depan.

“Saya mengatakan anak muda yang harus tampil, harus ingat, umur berapa KH Wahid Hasyim, dan yang lain semua di umur dua puluhan,” ungkapnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibien Rembang ini mengatakan pandangan bahwa yang tua tidak memberi kesempatan pada yang muda harus dihapus. Dia juga meminta anak muda berani tampil ke depan dan tidak harus menunggu yang tua.

“Anak muda harus tampil jangan sampai yang muda juga menyodorkan yang tua, itu menutup kesempatan mereka sendiri,” tukasnya.

Mustofa mengatakan anak muda perlu diberi peluang. Dia melihat usulan pembatasan periode kepemimpinan maksimal dua kali bisa menjadi pintu regenerasi

Tokoh NU lainnya KH Said Hudairy mengatakan dulu saat organisasi NU tidak terurus dan kepemimpinan mandek, anak muda yang tampil membenahi. “Saat itu anak muda seperti Sahal Mahfudz, Gus Dur, Mustofa Bisri, dan lain-lain merasa prihatin dan tampil membenahi,” kata Said, di Jakarta, kemarin.

Said yang juga termasuk salah satu dari mereka menceritakan saat itu elit dan pengurus NU tidak peduli lagi dengan organisasi. Mereka sibuk berpolitik dan mengamankan kursi di Senayan.

Akhirnya anak muda ini yang mengambil kepemimpinan dan membenahi organisasi. Mereka juga kemudian menyusun maklumat kembali ke khitah di tahun 1984.

“Kita yang tergabung dengan tim tujuh menyusun pokok-pokok kembali ke khitah,” ungkapnya.

Dalam Muktamar kemudian juga dilakukan penyegaran kepemimpinan. Sebab ketua umum PBNU KH Idham Colied kala itu sudah lama tidak diganti-ganti.

Akhirnya dibentuk formatur yang memilih Gus Dur jadi ketua umum. “Kalau tidak dipilih langsung kiai Idham bisa terpilih lagi,” ungkapnya.

Said mengatakan persoalan yang sama saat ini mulai tempak lagi. Karena itu dia menilai pembenahan perlu dilakukan dalam muktamar mendatang agar NU semakin baik ke depan.

Hasyim Muzadi juga mendukung hal itu. Dia mengatakan memimpin NU bukan soal tua atau muda. “Silahkan saja maju, kalau punya potensi dan kapabilitas tidak masalah berapapun umurnya,” ujar Hasyim.

Dia mengatakan pemimpin NU hanya perlu memiliki kapasitas untuk memimpin organisasi terbesar di Indonesia itu. Orang yang mampu melakukan itu adalah orang yang memiliki kapabilitas, bukan dilihat dari usianya. Apalagi pemimpin Nu selama ini juga berasal dari kaum muda.

“Pak Idham dulu muda, Wahid Hasyim juga muda, Gus Dur juga relative muda, dan saya saat terpilih dulu juga tidak setua sekarang. Jadi selama ini yang memimpin NU ya anak muda,” jelasnya.

Polemik Khitah dan Politik Praktis


Isu yang selalu mengemuka pra Muktamar NU adalah kritik terhadap kepemimpianan Hasyim Musadi. Kritik itu selalu dikaitkan dengan aktivitas politik praktisnya. Mamang sebagian besar amnuver politiknya kandas, mulai dari menjadi Cawapres di 2004 sampai mendukung JK saat pilpres 2009.

Tindakan Hasyim dan pengurus lainnya dinilai tidak sesuai dengan khitah NU. Maka menjelang muktamar ini perdebatan mengenai khitah kembali mengemuka.

Ketua PBNU KH Masdar Farid Mas’udi yang juga salah satu tokoh yang maju sebagai ketua umum mengatakan berbagai manuver politik praktis justru merugikan NU. Dia mengatakan akibat manuver personal pimpinan NU membuat ada persepsi yang tidak sama antara warga NU dengan pimpinannya.

“Di bawah terjadi demoralisasi, umat memutus link dengan kehendak elit,” ungkapnya.

Masdar mengatakan ini terjadi karena dalam 10 tahun terakhir NU mulai berpolitik praktis bahkan transaksional. Karena itu, ke depan hal ini harus dibenahi secara serius.

Dia mengatakan NU harus kembali ke khitahnya yaitu melayani umat bukan mengejar kekuasaan. “Khitah Nu itu kembali ke umat dan melayani umat, bukan matanya ijo ke atas melihat kekuasaan,” tandasnya.

Sementara Tokoh NU KH Said Hudairy mengatakan gerakan kembali ke khitah dibuat karena elit NU saat itu sibuk berpolitik dan lupa mengurus organisasi.

“Seolah-olah saat itu NU pindah kantor ke Senayan, soalnya semuanya fokus ke sana,” ujarnya.

Said mengatakan kemudian dirinya dan beberapa anak muda termasuk Gus Dur dan Kiai Sahal melakukan gerakan pembenahan. Lalu dirumuskan pula khitah NU yang jadi acuan sampai saat ini

Merasa terus dipojokkan dengan wacana khitah yang dihubungkan dengan aktivitas politik praktisnya, Hasyim Muzadi akhirnya angkat bicar soal wacana khitah. Dia mengatakan masalah khitah tidak hanya soal politik semata.

”Melanggar khittah itu nggak hanya rangkap jabatan di partai politik atau soal politik saja. Yang liberal dan ektrim kanan juga bertentangan dengan khittah,” kata Hasyim, yang tampak menanggapi Masdar yang dilingkungan NU dikenal berpemikiran agak liberal.

Hasyim mengatakan selama ini banyak pemikitan liberal dan ekstrim yang sebenarnya juga tidak sesuai khitah. Sebab visi NU dan manhaj perjuangan NU menggunakan garis moderasi, tidak ektrim keras dan tidak ektrim lunak.

Karena itu, ektrimisasi agama dan liberalisasi pemikiran bertentangan khittah, bahkan keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.

Menurut Hasyim, khittah NU terdiri dari tiga bagian penting. Yaitu pertama, bagian yang mengatur jati diri NU. ”Bahwa NU menganut ajaran Islam ahslusunnah waljamaah. Fikihnya menganut salah satu dari Imam empat. Dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid Al Baghdadi dan Imam Ghazali. Dalam bidang Aqidah mengikuti Al Asy’ari dan Al Maturidi,” jelasnya.

Maka dari itu, ektrimisasi agama dan liberalisasi pemikiran sama-sama melanggar khittah, karena bertentangan dengan visi NU dan manhaj perjuangan NU.Bahkan, jika tidak sesuia dengan dengan jati diri NU, bisa keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.

Khittah bagian kedua, katanya berkaitan dengan kemandirian NU. Menurutnya, NU adalah organisasi mandiri, tidak merupakan bagian apapun, baik ormas maupun partai. Dalam bidang sosial kenegaraan, NU menjadi organisasi amar ma’ruf nahi mungkar. Tidak merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan, tidak pula merupakan oposisi terhadap kekuasaan.

”Jadi NU memperkuat yang benar bukan hanya membenarkan yang kuat,” katanya.

Khittah bagian ketiga, lanjutnya, berkaitan dengan kebebasan menentukan pilihan. Saat khittah dilahirkan tahun 1984, katanya, warga NU hanya memilih satu dari tiga partai, dan tidak memilih orang. Dalam proses selanjutnya, tahun 1998, PBNU menfasilitasi lahirnya PKB, dan sekarang ini ada 38 partai.

”Selain itu, kita tidak hanya memilih partai, tapi juga memilih orang,” jelasnya.

Menurutnya, khittah kini sedang disalahpahami oleh warga NU sendiri. Seakan-seakan khittah yang benar, adalah tidak berbuat apa-apa. Padahal itu sama dengan membuka peluang orang lain untuk mengatur NU atas nama khiitah.

“Sementara kalau pimpinan NU mengatur umatnya sendiri dianggap tidak khittah,” ungkapnya.

Pengasuh pondok pesantren Al Hikam ini berharap, Mukatamar NU ke-32 di Makassar Januari tahun depan merespon perkembangan politik yang sangat cepat ini. Kebebasan memilih warga NU harus diseimbangkan dengan tanggung jawab memilih. Khittah sebagai patokan NU tidak perlu diubah, namun soal kebebasan memilih perlu penjabaran dalam tata laksananya.

”Antara kebebasan memilih dan tanggung jawab dalam memilih diperlukan ukuran-ukuran demi kemaslahatan NU. Kalau tidak, kita akan memilih secara sembarangan, termasuk memilih pihak yang kalau besar dan kuat akan menggusur NU. Tanggung jawab dalam memilih, termasuk tanggung jawab kita kepada agama, umat dan Allah,” jelasnya.

Sebelumnya aktifitas politik pengurus NU yang dipimpin Hasyim seringkali dinilai tidak sesuai khitah. Alasannya NU terlalu condong dalam politik praktis

Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Saiful Bahri Ansori mengusulkan agar khitan ini ditinjau ulang saat muktamar nantinya.

“Saya kira khitah ini perlu perumusan kembali kan suaanya sudah beda dan biar tidak ribut terus soal ini,” kata Saiful.

Mantan Ketua Umum PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini mengatakan suasana negara dan politik saat khitah dirumuskan tahun 84 berbeda dengan saat ini. Dia mengatakan saat ini iklim dan realitas politik sangat jauh berbeda.

Maka soal keterlibatan dalam politik praktis juga memiliki pemahaman yang berbeda. Apalagi sekarang ada pemilihan langsung dan calon independent.

“Kalau yang tidak boleh mencalon lewat parpol, bagaimana jika dia maju sebagai calon independent di dukung wilayah, ini bagaimana,” ujarnya.

Saiful mengatakan dengan cepatnya perkembangan ini warga NU gagap menanggapinya. NU juga terkadang dilematis dalam menentukan sikapnya.

“Tidak bersikap salah, bersikap dimarahi syuriah,” tukasnya.

Karena itu, yang terbaik adalah duduk bersama kembali merumuskan khitah di muktamar. Sekaligus membahas perkembangan yang terjadi.

“Bahkan jika peril kita bentuk biro khusus yang menangani politik praktis, jika khwatir lembaganya terganggu,” usulnya.

Mengenai aktivitas politik NU, Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari menyarankan agar NU tidak terlalu berpolitik praktis. Sebab dukungan elit NU di pemilu dan pilkada sering tidak singkron dengan massa nahdliyin. Pengurus mendukung calon tertrntu sementara massa NU mendukung calon lainnya.

“Misalnya saat pilpres pengurus mendukung JK, tapi dalam survey massa di bawah banyak mendukung SBY,” kata Qodari.

Qodari mengatakan jika ketidak sinkronan pilihan politik ini terus terjadi maka posisi tawar politik NU akan melemah. Sebab orang tidak akan percaya lagi bahwa jika menggandeng tokoh NU akan dapat dukungan massa NU.

“Jika tidak dirubah makin lama NU makin terdiskon, minimal harga politiknya turun,” ujarnya.

Untuk memperbaiki hal itu, Qodari mengatakan pengurus NU nantinya jangan terlalu fokus pada politik praktis. Sebagai organisasi beraset massa besar NU hendaknya fokus perbaikan organisasi saja.

Misalnya perbaikan ekonomi umat NU, perbaikan manejerial dan sebagainya. Dengan demikian organisasi NU akan menjadi kuat dan disegani kembali.

“Nah imbas politik akan tumbuh sendiri, jadi jangan fokus di politik, politik akan mengikuti jika organisasinya kembali kuat,” jelasnya.

Setali tiga uang dengan Qodari, Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar juga berpendapat senada. Dia mengatakan ke depan NU perlu mengurangi aktifitasnya dalam politik praktis.

Dia menilai selama ini pengurus NU sering terlibat langsung dalam politik praktis. “Untuk politik serahkanlah saja pada PKB yang memang ditugasi NU untuk itu,” kata Muhaimin.

Muhaimin juga berharap kedepan kedekatan PBNU dengan PKB semakin erat. Sebab dua institusi tersebut sama-sama berbasis massa kaum mahdliyin.

Mencari Imam Kaum Nahdliyin


Organisasi massa (ormas) terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) sebenatar lagi akan menjalankan suksesi kepemimpinan. Melalui Muktamar NU ke 32 di Makassar, Sulawasi Selatan, pada tanggal 23-28 Maret ini, akan dipilih ketua umum baru yang akan memimpin kaum nahdliyin atau warga NU.

Suksesi kepemimpinan NU ini, diprediksi tak akan kalah akbarnya dengan suksesi kepemimpinan nasional. Sejarah juga memperlihatkan selalu ada dinamika politik yang meniarik setiap NU akan mencari imam baru. Semakin menarik karena perhatian pada proses suksesi ini biasanya juga begitu besar. Pemerintah, atau unsur politik eksternal lain tercatat di sejarah juga seringkali mencoba ikut bermain dalam suksesi.

NU memang cukup strategis dan diperhitungkan di Indonesia. Maklum jumlah kaum nahdliyin adalah tergolong mayoritas di antara penduduk negeri ini. Umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, sebagian besarnya adalah kaum nahdliyin.

Berbagai data rata-rata mengatakan jumlah warga NU adalah 70 juta orang. Survey IndoBarometer misalnya menemukan dari sekitar 191,4 juta penduduk Indonesia adalah muslim (mengadipsi data sensus tahun 2000), sekitar 75% dari jumlah tersebut mengaku warga nahdliyin.

NU tidak saja besar dari segi jumlah, sepak terjang NU di kancah nasional dan internasional juga tak diragukan lagi. Nama NU sudah begitu dikenal dalam lobi politik internasional, terkait adama dan perdamaian atau resolusi konflik.

Suksesi NU tahun ini dinilai sangat penting dan krusial. Karena saat ini NU sedang menghadapi berbagai tantangan, baik dari dunia internasional, maupun dari dalam negeri.

Dari dunia internasional, jaringan internasional NU yang membawa bendera moderasi, mendapat tantangan dari gerakan sektarian yang tidak senang dengan gerakan NU yang terus menyebar moderasi melalui International Conference of Islamic Scholar (ICIS).

Sedangkan dari dalam negeri, NU berhadapan dengan ekstrimisme yang dibawa gerakan transnasional di ekstrim kanan, dan gerakan liberalisasi agama di ekstrim kiri. Belum lagi faktor politik dan kekuasaan yang juga turut merongrong dan mengincar NU dan warganya untuk kepentingan mereka. Beberapa hal itulah yang kemungkinan akan membuat suksesi NU yang akan dihelat ini menjadi panas dan menarik.

Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi sendiri sering mengungkapkan hal itu. Dia mengatakan banyak pihak yang tidak setuju nilai-nilai luhur NU ingin menyingkirkan dirinya dan merebut NU.

Termasuk jaringan liberal yang selama ini tak berminat distruktural namun tiba-tiba ingin masuk. Hal ini seolah mendapat pembenaran saat Pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Absar Abdalah menyatakan berminat maju sebagai ketua umum.

Ketika PBNU mulai mempersiapkan Muktamar, bahkan belum terbentuk panitianya, suasana panas sudah terjadi. Kali ini antara kelompok anti Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dengan kubu pro Hasyim. Serangan pada Hasyim terang-terangan dilakukan Ketua Umum GP Ansor Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) yang mendesak Hasyim mundur dan tidak maju lagi saat muktamar.

Sebenarnya pertentangan Hasyim dan Gus Ipul merupakan puncak pertentangan keduanya yang kerap terjadi di ajang politik praktis. Keduanya sering berbeda dan berseberangan pilihan politik. Yang terakhir saat Ipul maju jadi Cawagub Jatim, sementara Hasyim dan pengurus PBNU mendukung Khofifah Indar Parawansa yang maju jadi Cagub.

Dari isu yang berkembang, Gus Ipul dikabarkan mengincar jabatan sekjen NU. Hal ini dikarenakan dengan menjabat struktural di PBNU Wagub Jatim itu bisa memiliki bargaining bagus di pemilu 2014 nanti.

Bahkan gerakan ini berlanjut dengan sejumlah kalangan muda yang mengatasnamakan Gerakan Pemurnian Khittah (GPK) Nahdlatul Ulama (NU) yang juga mewacanakan pergantian Hasyim.

Jurubicara GPK NU, Isfah Abidal Aziz menilai Hasyim membawa NU selalu terlibat secara struktural mendukung capres-cawapres tertentu, namun akhirnya kalah. Dan, katanya, “Dalam semua momentum politik itu, NU selalu gagal,” ujarnya.

GPK mengklaim didukung sejumlah organisasi. Beberapa di antaranya adalah lembaga dan badan otonom di bawah naungan PBNU, yakni, Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU, Fatayat NU, GP Ansor, Ikatan Pelajar NU, dan Ikatan Pelajar Putri NU.

Tertera pula nama organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Organisasi ini tidak ada kaitan struktural dengan NU. PMII merupakan organisasi kemahasiswaan yang awalnya didirikan NU namun menyatakan independen atau memisahkan diri dari NU pada 1972.

Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, A. Malik Haramain, yang juga hadir pada kesempatan itu meminta Hasyim Muzadi sebaiknya tidak mencalonkan lagi di muktamar mendatang. Dia menilai dua periode sudah cukup bagi Hasyim dan perlu ada regenerasi.

Sementara dua pimpinan badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) membantah telah terlibat dalam Gerakan Pemurnian Khittah (GPK) NU. Ketua Umum Pucuk Pimpinan Fatayat NU, Maria Ulfa Anshor, dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri NU, Margaret Aliyatul Maimunah menyatakan organisasinya tidak terlibat.

Atas gonjang-ganjing itu, Hasyim Muzadi sendiri menanggapi dingin gerakan yang menyudutkan dirinya tersebut. Dia menilai memanasnya suasana seperti itu wajar terjadi menjelang Muktamar.

“Gegeran, ribut-ribut menjelang Muktamar itu biasa. Saat Muktamar ke-31 di Solo (2004) juga ribut. Biasa itu,” ujarnya.

Hasyim meyakini, suasana memanas seperti itu nantinya akan dapat diselesaikan baik pada waktunya. “Biasanya, kalau orang NU gegeran (ribut), nantinya akan berakhir dengan ger-geran (canda tawa),” ujarnya.

Dia juga mengatakan tak akan bereaksi berlebihan terkait wacana tersebut. Dia bahkan menilai hal itu sebagai warna-warni menjelang hajatan Muktamar.

“Jika tidak ada hal semacam itu, Muktamar tidak berkesan meriah,” candanya.

Selain serangan yang terang-terangan, dikabarkan juga banyak petinggi PBNU yang diam-diam menggalang kekuatan untuk maju menggantikan Hasyim.

Namun panasnya gonjang-ganjing ketua umum ini tiba-tiba dikagetkan dengan kabar keinginan mundurnya Hasyim. Pemimpin Ponpas Al Hikam ini tiba-tiba mengatakan tidak akan mencalonkan diri lagi saat muktamar nanti.

“Sudah sering saya kemukakan bahwa saya tidak akan nyalon lagi dalam muktamar nanti. Keputusan saya ini sudah final, saya tidak akan nyalon lagi meskipun tidak ada pembatasan masa jabatan,” kata Hasyim.

Keputusan ini mengagetkan baik pendukung maupun penolak Hasyim. Sebab dukungan padanya masih cukup besar, dan para penentangnya pun mengira dengan itu Hasyim akan mempertahankan diri.

Dengan mundurnya Hasyim, pertarungan menjadi makin cair. Mundurnya calon terkuat atau incumbent ini juga membuat sulit menebak siapa yang akan terpilih menjadi iman bagi kaum nahdliyin.

Selama ini yang ramai disebut hanya para petinggi NU seperti KH Masdar Farid Mas’udi, KH Said Aqil Siradj, dan sebagainya. Juga para Tokoh NU seperti KH Salahudin Wahid, KH Mustofa Bisri dan kiai lainnya yang bahkan mengaku tidak minat.

Bahkan bursa juga melabar ke tokoh nasional. Misalnya Mekominfo M. Nuh sempat disebut walau kemudian membantah berminat. Juga Jusuf Kalla juga sempat ditawari namun dia menolak.

Wacana awal soal calon, sempat tersiar bahwa Masdar mendapat dukungan SBY dan pemerintah. Semantara Said Aqil berkubu dengan Gus Ipul. Sementara Ulil dan Slamat Effendy Yusuf dinilai tak memiliki dukungan cukup.

Para kiai sepuh langsung bereaksi. Mereka melakukan pertemuan yang digelar di Ponpes Langitan, Tuban, Jawa Timur. Kabarnya mereka menelpon Hasyim dan meminta agar mau mencalonkan diri dan tidak mundur. Para kiai ini menilai calon yang ada semua berpemikiran liberal.

Wajar saja, selama ini Said, Masdar, apalagi Ulil, memang dinilai berpemikiran liberal oleh para kiai. Sedangkan nama lain seperti Slamet dinilai kurang dalam derajat keulamaannya. Para kiai ini kemudian melirik sosok KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah). Jika Hasyim benar tak mau maju, adik Gus Dur itu kemungkinan yang akan mendapat limpahan dukungan dari para kiai. Tapi dengan majunya mantan Ketua PWNU Jatim Ali Maschan Moesa, peta kembali cair.

Sampai hari H Muktamar nanti, peta peta politik para kiai ini masih cair. Persekutuan dan kubu-kubu sulit ditebak. Apalagi jika benar ada kekuatan eksternal yang akan coba masuk, seperti yang terjadi di Muktamar Cipayung, 1994 lalu di mana pemerintah coba menjegal Gus Dur. Dalam politik yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin, termasuk pada politik para kiai ini.