Selasa, 23 Maret 2010

Peniadaan Pemilihan Langsung dan Pembatasan Jabatan


Banyak wacana mengemuka menjelang Muktamar NU. Wacana tidak saja berputar soal figure kandidat namun juga terjadi di tataran sistem. Misalnya muncul wacana agar pemiliha ketua umum tidak dilakukan secara langsung, namun ditunjuk oleh formatur (ahlul halli wal ahdi) yang ditetapkan dalam muktamar yang biasanya para kiai.

Wacana ini diserukan sekelompok anak muda NU menyelenggarakan Halaqah Nasional Warga NU “Muktamirin sebaiknya hanya memilih langsung Rais ‘Am Syuriyah dan dewan kolektif Syuriyah, dan ketua tanfidziyah atas usulan muktamirin, dipilih oleh dewan kolektif syuriyah,” kata salah satu peserta halaqah dari Rumadi.

Rumadi mengatakan cara itu akan mampu membuat kepemimpinan NU menjadi solid. Dia mengatakan dualisme kepemimpinan NU akan terus terjadi manakala tanfidizyah dan syuriyah dipilih langsung oleh muktamirin. Sebab kedua lembaga itu belum tentu bisa cocok.

Wasekjen PBNU Saiful Bahri Ansori mengatakan usulan tersebut memang muncul. Dia mengatakan hal itu bukan hal baru karena pernah dilakukan di Muktamar Situbondo di mana formatur memilih KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi ketua umum.

Namun Saiful mempertanyakan jika usulan ini dikemukakan oleh kalangan muda NU. Sebab pemilihan langsung yang sesuai dengan semnagat demokrasi biasanya yang diusulkan anak muda.

“Anak-anak muda ini kan biasanya inginnya demokratis ini kok pengen cara yang dipilih langsung, ini ada apa di balik itu,” tanyanya.

Selain soal itu, juga muncul wacana pembatasan jabatan ketua umum PBNU. Dalam lokakarya yang diikuti badan otonom (banom) NU akhirnya usulan pembatasan jabatan disepakati. Pembatasan jabatan maksimal dua periode itu diambil dalam siding komisi organisasi pada halaqah pra Muktamar. Namun keputusan finalnya nanti dibahas dalam Muktamar.

Keputusan di halaqah sendiri disepakati dengan mudah atau tanpa adu argumentasi yang panas oleh para peserta. Para peserta yang hadir terdiri dari perwakilan badan otonom, lembaga dan lajnah.

Mereka menyadari pentingnya pengaturan masa jabatan maksimal agar proses kaderisasi di NU tetap berjalan dengan baik. Kesepakatan pembatasan tidak hanya untuk ketua umum PBNU saja tapi juga ketua terpilih di tingkat wilayah atau di bawahnya.

Bahkan, untuk badan otonom yang berbasiskan umur seperti GP Ansor, Fatayat NU, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan pelajar Putri Nahdlatu Ulama (IPPNU), ketua umum diusulkan hanya sekali saja. Saat ini batasan tersebut baru berjalan di IPNU dan IPPNU.

Sebenarnya pada muktamar sebelumnya atau muktamar ke-31 NU yang berlangsung di Asrama Haji Donohudan Solo, usulan tersebut sudah dimasukkan, tetapi gagal disepakati karena adanya protes dari salah satu cabang yang mempertanyakan mengapa berkhidmad harus dibatasi.

Sekedar diketahui, selama ini di PBNU tercatat ada beberapa ketua umum yang menjabat lebih dari dua periode. Ketua umum yang paling lama menjabat adalah KH Idham Cholid yang menjabat selama 28 tahun antara tahun 1956-1984.

Selanjutnya ada juga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjabat selama tiga periode atau 15 tahun antara 1984-1999.

Berbagai peristiwa yang terjadi pra muktamar itu membuktikan bahwa sangat besar dinamika dalam suksesi di tubuh NU. Persaingan ketat tentu akan semakin besar di muktamar.

Direktur Eksekutif IndoBarometer Mohammad Qodari mengatakan dalam memilih pemimpin ke depan NU harus mampu menghadirkan pemimpin yang mampu membawa NU semakin besar. Dia mengatakan pemimpin nahdliyin harus mampu menjadi manajer yang baik.

“NU ini sudah besar, hanya perlu dimanajeri lagi lebih baik sehingga potensinya bisa tersalurkan dengan baik,” tuturnya.

Qodari mengatakan pemimpin NU ke depan harus mampu membuat NU semakin besar. Dia mengatakan banyak potensi NU yang perlu diberdayakan agar lembaga ini semakin besar dan solid.

“Tidak ada salahnya pimpinan NU yang baru nanti merekrut orang-orang hebat yang mengerti manajemen untuk bergabung di kepengurusan PBNU,” sarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar