Selasa, 23 Maret 2010

Polemik Khitah dan Politik Praktis


Isu yang selalu mengemuka pra Muktamar NU adalah kritik terhadap kepemimpianan Hasyim Musadi. Kritik itu selalu dikaitkan dengan aktivitas politik praktisnya. Mamang sebagian besar amnuver politiknya kandas, mulai dari menjadi Cawapres di 2004 sampai mendukung JK saat pilpres 2009.

Tindakan Hasyim dan pengurus lainnya dinilai tidak sesuai dengan khitah NU. Maka menjelang muktamar ini perdebatan mengenai khitah kembali mengemuka.

Ketua PBNU KH Masdar Farid Mas’udi yang juga salah satu tokoh yang maju sebagai ketua umum mengatakan berbagai manuver politik praktis justru merugikan NU. Dia mengatakan akibat manuver personal pimpinan NU membuat ada persepsi yang tidak sama antara warga NU dengan pimpinannya.

“Di bawah terjadi demoralisasi, umat memutus link dengan kehendak elit,” ungkapnya.

Masdar mengatakan ini terjadi karena dalam 10 tahun terakhir NU mulai berpolitik praktis bahkan transaksional. Karena itu, ke depan hal ini harus dibenahi secara serius.

Dia mengatakan NU harus kembali ke khitahnya yaitu melayani umat bukan mengejar kekuasaan. “Khitah Nu itu kembali ke umat dan melayani umat, bukan matanya ijo ke atas melihat kekuasaan,” tandasnya.

Sementara Tokoh NU KH Said Hudairy mengatakan gerakan kembali ke khitah dibuat karena elit NU saat itu sibuk berpolitik dan lupa mengurus organisasi.

“Seolah-olah saat itu NU pindah kantor ke Senayan, soalnya semuanya fokus ke sana,” ujarnya.

Said mengatakan kemudian dirinya dan beberapa anak muda termasuk Gus Dur dan Kiai Sahal melakukan gerakan pembenahan. Lalu dirumuskan pula khitah NU yang jadi acuan sampai saat ini

Merasa terus dipojokkan dengan wacana khitah yang dihubungkan dengan aktivitas politik praktisnya, Hasyim Muzadi akhirnya angkat bicar soal wacana khitah. Dia mengatakan masalah khitah tidak hanya soal politik semata.

”Melanggar khittah itu nggak hanya rangkap jabatan di partai politik atau soal politik saja. Yang liberal dan ektrim kanan juga bertentangan dengan khittah,” kata Hasyim, yang tampak menanggapi Masdar yang dilingkungan NU dikenal berpemikiran agak liberal.

Hasyim mengatakan selama ini banyak pemikitan liberal dan ekstrim yang sebenarnya juga tidak sesuai khitah. Sebab visi NU dan manhaj perjuangan NU menggunakan garis moderasi, tidak ektrim keras dan tidak ektrim lunak.

Karena itu, ektrimisasi agama dan liberalisasi pemikiran bertentangan khittah, bahkan keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.

Menurut Hasyim, khittah NU terdiri dari tiga bagian penting. Yaitu pertama, bagian yang mengatur jati diri NU. ”Bahwa NU menganut ajaran Islam ahslusunnah waljamaah. Fikihnya menganut salah satu dari Imam empat. Dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid Al Baghdadi dan Imam Ghazali. Dalam bidang Aqidah mengikuti Al Asy’ari dan Al Maturidi,” jelasnya.

Maka dari itu, ektrimisasi agama dan liberalisasi pemikiran sama-sama melanggar khittah, karena bertentangan dengan visi NU dan manhaj perjuangan NU.Bahkan, jika tidak sesuia dengan dengan jati diri NU, bisa keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.

Khittah bagian kedua, katanya berkaitan dengan kemandirian NU. Menurutnya, NU adalah organisasi mandiri, tidak merupakan bagian apapun, baik ormas maupun partai. Dalam bidang sosial kenegaraan, NU menjadi organisasi amar ma’ruf nahi mungkar. Tidak merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan, tidak pula merupakan oposisi terhadap kekuasaan.

”Jadi NU memperkuat yang benar bukan hanya membenarkan yang kuat,” katanya.

Khittah bagian ketiga, lanjutnya, berkaitan dengan kebebasan menentukan pilihan. Saat khittah dilahirkan tahun 1984, katanya, warga NU hanya memilih satu dari tiga partai, dan tidak memilih orang. Dalam proses selanjutnya, tahun 1998, PBNU menfasilitasi lahirnya PKB, dan sekarang ini ada 38 partai.

”Selain itu, kita tidak hanya memilih partai, tapi juga memilih orang,” jelasnya.

Menurutnya, khittah kini sedang disalahpahami oleh warga NU sendiri. Seakan-seakan khittah yang benar, adalah tidak berbuat apa-apa. Padahal itu sama dengan membuka peluang orang lain untuk mengatur NU atas nama khiitah.

“Sementara kalau pimpinan NU mengatur umatnya sendiri dianggap tidak khittah,” ungkapnya.

Pengasuh pondok pesantren Al Hikam ini berharap, Mukatamar NU ke-32 di Makassar Januari tahun depan merespon perkembangan politik yang sangat cepat ini. Kebebasan memilih warga NU harus diseimbangkan dengan tanggung jawab memilih. Khittah sebagai patokan NU tidak perlu diubah, namun soal kebebasan memilih perlu penjabaran dalam tata laksananya.

”Antara kebebasan memilih dan tanggung jawab dalam memilih diperlukan ukuran-ukuran demi kemaslahatan NU. Kalau tidak, kita akan memilih secara sembarangan, termasuk memilih pihak yang kalau besar dan kuat akan menggusur NU. Tanggung jawab dalam memilih, termasuk tanggung jawab kita kepada agama, umat dan Allah,” jelasnya.

Sebelumnya aktifitas politik pengurus NU yang dipimpin Hasyim seringkali dinilai tidak sesuai khitah. Alasannya NU terlalu condong dalam politik praktis

Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Saiful Bahri Ansori mengusulkan agar khitan ini ditinjau ulang saat muktamar nantinya.

“Saya kira khitah ini perlu perumusan kembali kan suaanya sudah beda dan biar tidak ribut terus soal ini,” kata Saiful.

Mantan Ketua Umum PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini mengatakan suasana negara dan politik saat khitah dirumuskan tahun 84 berbeda dengan saat ini. Dia mengatakan saat ini iklim dan realitas politik sangat jauh berbeda.

Maka soal keterlibatan dalam politik praktis juga memiliki pemahaman yang berbeda. Apalagi sekarang ada pemilihan langsung dan calon independent.

“Kalau yang tidak boleh mencalon lewat parpol, bagaimana jika dia maju sebagai calon independent di dukung wilayah, ini bagaimana,” ujarnya.

Saiful mengatakan dengan cepatnya perkembangan ini warga NU gagap menanggapinya. NU juga terkadang dilematis dalam menentukan sikapnya.

“Tidak bersikap salah, bersikap dimarahi syuriah,” tukasnya.

Karena itu, yang terbaik adalah duduk bersama kembali merumuskan khitah di muktamar. Sekaligus membahas perkembangan yang terjadi.

“Bahkan jika peril kita bentuk biro khusus yang menangani politik praktis, jika khwatir lembaganya terganggu,” usulnya.

Mengenai aktivitas politik NU, Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari menyarankan agar NU tidak terlalu berpolitik praktis. Sebab dukungan elit NU di pemilu dan pilkada sering tidak singkron dengan massa nahdliyin. Pengurus mendukung calon tertrntu sementara massa NU mendukung calon lainnya.

“Misalnya saat pilpres pengurus mendukung JK, tapi dalam survey massa di bawah banyak mendukung SBY,” kata Qodari.

Qodari mengatakan jika ketidak sinkronan pilihan politik ini terus terjadi maka posisi tawar politik NU akan melemah. Sebab orang tidak akan percaya lagi bahwa jika menggandeng tokoh NU akan dapat dukungan massa NU.

“Jika tidak dirubah makin lama NU makin terdiskon, minimal harga politiknya turun,” ujarnya.

Untuk memperbaiki hal itu, Qodari mengatakan pengurus NU nantinya jangan terlalu fokus pada politik praktis. Sebagai organisasi beraset massa besar NU hendaknya fokus perbaikan organisasi saja.

Misalnya perbaikan ekonomi umat NU, perbaikan manejerial dan sebagainya. Dengan demikian organisasi NU akan menjadi kuat dan disegani kembali.

“Nah imbas politik akan tumbuh sendiri, jadi jangan fokus di politik, politik akan mengikuti jika organisasinya kembali kuat,” jelasnya.

Setali tiga uang dengan Qodari, Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar juga berpendapat senada. Dia mengatakan ke depan NU perlu mengurangi aktifitasnya dalam politik praktis.

Dia menilai selama ini pengurus NU sering terlibat langsung dalam politik praktis. “Untuk politik serahkanlah saja pada PKB yang memang ditugasi NU untuk itu,” kata Muhaimin.

Muhaimin juga berharap kedepan kedekatan PBNU dengan PKB semakin erat. Sebab dua institusi tersebut sama-sama berbasis massa kaum mahdliyin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar