Selasa, 23 Maret 2010

Mencari Imam Kaum Nahdliyin


Organisasi massa (ormas) terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) sebenatar lagi akan menjalankan suksesi kepemimpinan. Melalui Muktamar NU ke 32 di Makassar, Sulawasi Selatan, pada tanggal 23-28 Maret ini, akan dipilih ketua umum baru yang akan memimpin kaum nahdliyin atau warga NU.

Suksesi kepemimpinan NU ini, diprediksi tak akan kalah akbarnya dengan suksesi kepemimpinan nasional. Sejarah juga memperlihatkan selalu ada dinamika politik yang meniarik setiap NU akan mencari imam baru. Semakin menarik karena perhatian pada proses suksesi ini biasanya juga begitu besar. Pemerintah, atau unsur politik eksternal lain tercatat di sejarah juga seringkali mencoba ikut bermain dalam suksesi.

NU memang cukup strategis dan diperhitungkan di Indonesia. Maklum jumlah kaum nahdliyin adalah tergolong mayoritas di antara penduduk negeri ini. Umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, sebagian besarnya adalah kaum nahdliyin.

Berbagai data rata-rata mengatakan jumlah warga NU adalah 70 juta orang. Survey IndoBarometer misalnya menemukan dari sekitar 191,4 juta penduduk Indonesia adalah muslim (mengadipsi data sensus tahun 2000), sekitar 75% dari jumlah tersebut mengaku warga nahdliyin.

NU tidak saja besar dari segi jumlah, sepak terjang NU di kancah nasional dan internasional juga tak diragukan lagi. Nama NU sudah begitu dikenal dalam lobi politik internasional, terkait adama dan perdamaian atau resolusi konflik.

Suksesi NU tahun ini dinilai sangat penting dan krusial. Karena saat ini NU sedang menghadapi berbagai tantangan, baik dari dunia internasional, maupun dari dalam negeri.

Dari dunia internasional, jaringan internasional NU yang membawa bendera moderasi, mendapat tantangan dari gerakan sektarian yang tidak senang dengan gerakan NU yang terus menyebar moderasi melalui International Conference of Islamic Scholar (ICIS).

Sedangkan dari dalam negeri, NU berhadapan dengan ekstrimisme yang dibawa gerakan transnasional di ekstrim kanan, dan gerakan liberalisasi agama di ekstrim kiri. Belum lagi faktor politik dan kekuasaan yang juga turut merongrong dan mengincar NU dan warganya untuk kepentingan mereka. Beberapa hal itulah yang kemungkinan akan membuat suksesi NU yang akan dihelat ini menjadi panas dan menarik.

Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi sendiri sering mengungkapkan hal itu. Dia mengatakan banyak pihak yang tidak setuju nilai-nilai luhur NU ingin menyingkirkan dirinya dan merebut NU.

Termasuk jaringan liberal yang selama ini tak berminat distruktural namun tiba-tiba ingin masuk. Hal ini seolah mendapat pembenaran saat Pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Absar Abdalah menyatakan berminat maju sebagai ketua umum.

Ketika PBNU mulai mempersiapkan Muktamar, bahkan belum terbentuk panitianya, suasana panas sudah terjadi. Kali ini antara kelompok anti Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dengan kubu pro Hasyim. Serangan pada Hasyim terang-terangan dilakukan Ketua Umum GP Ansor Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) yang mendesak Hasyim mundur dan tidak maju lagi saat muktamar.

Sebenarnya pertentangan Hasyim dan Gus Ipul merupakan puncak pertentangan keduanya yang kerap terjadi di ajang politik praktis. Keduanya sering berbeda dan berseberangan pilihan politik. Yang terakhir saat Ipul maju jadi Cawagub Jatim, sementara Hasyim dan pengurus PBNU mendukung Khofifah Indar Parawansa yang maju jadi Cagub.

Dari isu yang berkembang, Gus Ipul dikabarkan mengincar jabatan sekjen NU. Hal ini dikarenakan dengan menjabat struktural di PBNU Wagub Jatim itu bisa memiliki bargaining bagus di pemilu 2014 nanti.

Bahkan gerakan ini berlanjut dengan sejumlah kalangan muda yang mengatasnamakan Gerakan Pemurnian Khittah (GPK) Nahdlatul Ulama (NU) yang juga mewacanakan pergantian Hasyim.

Jurubicara GPK NU, Isfah Abidal Aziz menilai Hasyim membawa NU selalu terlibat secara struktural mendukung capres-cawapres tertentu, namun akhirnya kalah. Dan, katanya, “Dalam semua momentum politik itu, NU selalu gagal,” ujarnya.

GPK mengklaim didukung sejumlah organisasi. Beberapa di antaranya adalah lembaga dan badan otonom di bawah naungan PBNU, yakni, Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU, Fatayat NU, GP Ansor, Ikatan Pelajar NU, dan Ikatan Pelajar Putri NU.

Tertera pula nama organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Organisasi ini tidak ada kaitan struktural dengan NU. PMII merupakan organisasi kemahasiswaan yang awalnya didirikan NU namun menyatakan independen atau memisahkan diri dari NU pada 1972.

Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, A. Malik Haramain, yang juga hadir pada kesempatan itu meminta Hasyim Muzadi sebaiknya tidak mencalonkan lagi di muktamar mendatang. Dia menilai dua periode sudah cukup bagi Hasyim dan perlu ada regenerasi.

Sementara dua pimpinan badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) membantah telah terlibat dalam Gerakan Pemurnian Khittah (GPK) NU. Ketua Umum Pucuk Pimpinan Fatayat NU, Maria Ulfa Anshor, dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri NU, Margaret Aliyatul Maimunah menyatakan organisasinya tidak terlibat.

Atas gonjang-ganjing itu, Hasyim Muzadi sendiri menanggapi dingin gerakan yang menyudutkan dirinya tersebut. Dia menilai memanasnya suasana seperti itu wajar terjadi menjelang Muktamar.

“Gegeran, ribut-ribut menjelang Muktamar itu biasa. Saat Muktamar ke-31 di Solo (2004) juga ribut. Biasa itu,” ujarnya.

Hasyim meyakini, suasana memanas seperti itu nantinya akan dapat diselesaikan baik pada waktunya. “Biasanya, kalau orang NU gegeran (ribut), nantinya akan berakhir dengan ger-geran (canda tawa),” ujarnya.

Dia juga mengatakan tak akan bereaksi berlebihan terkait wacana tersebut. Dia bahkan menilai hal itu sebagai warna-warni menjelang hajatan Muktamar.

“Jika tidak ada hal semacam itu, Muktamar tidak berkesan meriah,” candanya.

Selain serangan yang terang-terangan, dikabarkan juga banyak petinggi PBNU yang diam-diam menggalang kekuatan untuk maju menggantikan Hasyim.

Namun panasnya gonjang-ganjing ketua umum ini tiba-tiba dikagetkan dengan kabar keinginan mundurnya Hasyim. Pemimpin Ponpas Al Hikam ini tiba-tiba mengatakan tidak akan mencalonkan diri lagi saat muktamar nanti.

“Sudah sering saya kemukakan bahwa saya tidak akan nyalon lagi dalam muktamar nanti. Keputusan saya ini sudah final, saya tidak akan nyalon lagi meskipun tidak ada pembatasan masa jabatan,” kata Hasyim.

Keputusan ini mengagetkan baik pendukung maupun penolak Hasyim. Sebab dukungan padanya masih cukup besar, dan para penentangnya pun mengira dengan itu Hasyim akan mempertahankan diri.

Dengan mundurnya Hasyim, pertarungan menjadi makin cair. Mundurnya calon terkuat atau incumbent ini juga membuat sulit menebak siapa yang akan terpilih menjadi iman bagi kaum nahdliyin.

Selama ini yang ramai disebut hanya para petinggi NU seperti KH Masdar Farid Mas’udi, KH Said Aqil Siradj, dan sebagainya. Juga para Tokoh NU seperti KH Salahudin Wahid, KH Mustofa Bisri dan kiai lainnya yang bahkan mengaku tidak minat.

Bahkan bursa juga melabar ke tokoh nasional. Misalnya Mekominfo M. Nuh sempat disebut walau kemudian membantah berminat. Juga Jusuf Kalla juga sempat ditawari namun dia menolak.

Wacana awal soal calon, sempat tersiar bahwa Masdar mendapat dukungan SBY dan pemerintah. Semantara Said Aqil berkubu dengan Gus Ipul. Sementara Ulil dan Slamat Effendy Yusuf dinilai tak memiliki dukungan cukup.

Para kiai sepuh langsung bereaksi. Mereka melakukan pertemuan yang digelar di Ponpes Langitan, Tuban, Jawa Timur. Kabarnya mereka menelpon Hasyim dan meminta agar mau mencalonkan diri dan tidak mundur. Para kiai ini menilai calon yang ada semua berpemikiran liberal.

Wajar saja, selama ini Said, Masdar, apalagi Ulil, memang dinilai berpemikiran liberal oleh para kiai. Sedangkan nama lain seperti Slamet dinilai kurang dalam derajat keulamaannya. Para kiai ini kemudian melirik sosok KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah). Jika Hasyim benar tak mau maju, adik Gus Dur itu kemungkinan yang akan mendapat limpahan dukungan dari para kiai. Tapi dengan majunya mantan Ketua PWNU Jatim Ali Maschan Moesa, peta kembali cair.

Sampai hari H Muktamar nanti, peta peta politik para kiai ini masih cair. Persekutuan dan kubu-kubu sulit ditebak. Apalagi jika benar ada kekuatan eksternal yang akan coba masuk, seperti yang terjadi di Muktamar Cipayung, 1994 lalu di mana pemerintah coba menjegal Gus Dur. Dalam politik yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin, termasuk pada politik para kiai ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar