Senin, 19 April 2010

Dunia Politik dari Balik Layar


Judul Buku : “Mengalir Meniti Ombak: Memoar Kritis Tiga Kekalahan”
Penulis : Indra Jaya Piliang.
Penerbit : Penerbit Ombak, Yogyakarta.
Sampul & Lay Out: Dian Qamajaya.
Jumlah Halaman : xxiii & 568 halaman.

Menjadi politisi dan berjuang sebagai caleng ternyata tidak mudah. Indra Jaya Piliang sebagai politisi baru membuktikan hal itu. Pengalaman itu direkam Indra dalam sebuah buku memoarnya “Mengalir Meniti Ombak”.

Banyak orang tahu, Indra yang dikenal luas sebagai analis dan pengamat politik CSIS telah beralih profesi menjadi politisi. Namun tidak banyak yang tahu apa yang dialami Indra setelah menjadi politisi. Nah dalam buku yang diterbitkan Ombak setebal 568 halaman tersebut, dia menceritakan dunia politik yang dihadapinya. Cerita Indara ini semacam cerita di balik layar.

Karena memotret utuh dari balik layar, cerita Indra dalam memornya ini tentu lebih lengkap dan detail dari cerita yang didapat dari pemberitaan atau kabar di media. Dalam memoarnya misalnya Indra menceritakan motivasinya menjadi politisi karena bencana gempa di kampong halamannya di Sumatra Barat. Tanpa menjadi politisi atau birokrat dia tidak bisa berbuat banyak.

Selain itu bagi Indra politisi bukanlah pekerjaan terkutuk, sekalipun lebih banyak orang mengutuknya. Menurut dia pekerjan apa pun bisa masuk kategori terkutuk itu, kalau dilakukan oleh orang atau manusia berkelakuan terkutuk. Dia juga menceritakan pengalaman dari kecil sampai menjadi analis politik terkenal sebagai pembuka bukunya.
Buku Indra ini menarik di baca, karena cerita seperti ini cukup langka. Banyak intelektual masuk parpol, tapi tak banyak yang menuliskan pengalamannya dengan detail seperti Indra. Indra dengan gamblang menceritakan betapa terjalnya dunia politik. Suatu pemandangan yang kadang luput dari pengamatannya sebagai analis.

Selain itu biasanya jika sudah berpolitik dan sibuk dengan urusan partai, politikus tidak akan sempat menulis. Namun Indra melakukan sebaliknya. Rekan sesama celeg Golkar yang masuk melalui jalur khusus Meutya Hafid, menyebut Indra sebagai intelektual cum politisi pencatat. Seorang politisi yang aktif, kta Meutya, tak banyak yang memiliki waktu untuk menulis dengan baik, tapi Indra kebalikannya, semakin tinggi aktivitas politiknya, semakin produktif dia menulis.

Secara umum buku Indra ini menceritakan tiga kegagalan Indra selama berpolitik. Mulai dari kegagalan sebagai caleg dalam pemilihan anggota DPR 9 April 2009, kekalahan di pilpres 8 juli 2009, di mana dia menjadi tim sukses JK-Wiranto, dan pemilihan ketua umum Golkar 7 Oktober 2009 di mana dia mendukung Yuddy Chrisnandi.
Lebih dari itu hal menarik justru bukan dari narasi besar tiga kekalahan itu. Tapi bagaimana cerita detail yang dialami Indra selama proses kompetisi di dunia politik. Dengan kata lain Indra menceritakan apa yang ada di belakang layar. Misalnya bagaimana sulitnya mencari dapil dan nomor urut, kampanye dengan logistic terbatas, serta intrik di dalam partai Golkar.

Maka apa yang ditulis Indra ini bisa jadi bekal pengetahuan bagi mereka yang ingin terjun ke politik. Sebab akan terlihat dunia politik dan kepartaian yang sebenarnya itu seperti apa. Ini bukan hanya untuk kader Golkar saja, namun untuk semua politisi. Utamanya yang baru terjun atau belajar berpolitik.

Indra juga bercerita banyak mengapa dia masuk Golkar dan mengabaikan tawaran partai lainnya. Dia juga merefleksikan metamorfosisnya dari pemgkritik menjadi pembela Partai Golkar. Apa yang dituliskan Indra sangat runtut,nyata, serta detail. Karena dia memang selalu menyempatkan menulis dengan laptopnya setiap berkegiatan.
Lebih lanjut dalam buku itu Indra sekaligus ingin menyampaiakan pesan yang penting, bahwa kekalahan bukan akhir segalanya. Bahwa sejarah boleh juga ditulis oleh mereka yang kalahh bukan hanya milik pemenang. Mengutip mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla yang menulis kata pengantar di buku tersebut, Indra sedang memaknai kekalahannya. Indra tidak menangisi kekalahan tapi menertawakan kekalahan.