Minggu, 26 April 2009

Jangan Sensi Lah





Suasana “perceraian” SBY dan JK masih terasa di ruangan itu saat dua politisi pendukung tokoh itu bertemu untuk berdiskusi. Burhanuddin Napitupulu sang Ketua DPP Partai Golkar orang dekat JK, duduk bersebelahan dengan Hayono Isman, Anggota dewan Pembina Partai Demokrat.

Burnap, sapaan akrab Burhanuddin, tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya pada Demokrat. Dia memaparkan buntunya negosiasi dua partai untuk berkoalisi karena ulah Demokrat yang “jual mahal” atas posisi cawapres yang diincar Golkar.

Bahkan Burnap menilai Demokrat dan SBY telah menunjukkan sikap anti JK. Hal itu dibuktikan dengan dilansirnya lima criteria cawapres oleh SBY yang dinilai meminggirkan posisi JK.

Hal itu lah, yang kemudian mematik emosi petinggi Golkar khusunya pendukung JK. Hal itu juga yang memberanikan mereka meluncurkan sikap cerai atas SBY dan mencalonkan presiden sendiri yaitu JK.

“Ini sudah masalah hati,” ujar Burnap dengan nada membara menggambarkan kekecewaan pendukung JK saat SBY dinilai mulai meminggirkan JK.

Sepanjang pemaparan Burnap di hadapan wartawan DPR itu, Hayono Isman yang duduk di sampingnya hanya tampak tenang dan sesekali tersenyum.

Namun saat moderator memberinya kesempatan berbicara dia membalas “serangan” Burnap. Dia meminta Burnap tidak terlalu emosi dan sensitif menanggapi criteria yang dikemukakan SBY.

“Kalau pinjam istilah anak muda,jangan sensi lah. Wajar pemenang pemilu mengajukan kriteria-kriteria,” sentilnya.

Hayono bahkan mengungkapkan fakta lain bahwa Golkar yang begitu cepat memutuskan hubungan dan mengakhiri negosiasi. Padahal Demokrat memprioritaskan Golkar untuk cawapres dan negosiasi baru berjalan sekali.

Burnap segera membalas saat dikatakan sensi. “Saya bicara norma organisasi, bukan sensi tidak sensi,” ujarnya.

Dengan bersemangat Burnap kemudian mengatakan JK adalah ketua umum, maka jika SBY tidak mau pada JK seharusnya dibicarakan baik-baik empat mata. Bukan dengan mengungkapkan criteria yang sepertinya menolak halus JK.

Dia lalu memberi contoh Soetrisno Bachir (SB) yang juga wajar tersinggung kerana sebagai ketua umum merasa dilangkahi Amien Rais yang konon mengajukan Hatta Radjasa jadi cawapres SBY.

“Soetrino Bachir gak diikutin ya marah, Amien punya list sendiri. Jelek-jelek dia (SB)itu ketua umum,” katanya.

Namun Burnap kemudian tersadar bahwa dia membuat pernyataan yang bisa dimaknai berbeda. Terutama kata “jelek-jelek” SB ketua umum. Walau semua orang tau maksudnya bukan mengatakan SB jelek, namun dia takut hal itu diplintir sehingga bisa membuat kesalahpahaman antara dirinya dan SB.

Sama dengan kasus statemen Achmad Mubarok tentang 2,5% suara Golkar yang kemudian membuat renggang hubungan dua partai.

“Saya ralat ya jangan sampai marah SB. Itu jelek-jelek maksudnya bukan SB jelek. Biasa slip of tongue,” ujarnya yang disoraki wartawan yang hadir.

Mungkin pak Burnap memang lagi sensi. Jadi lidahnya pun kepleset.

(sumber foto:calonanggotalegislatifdpd.blogspot.com dan cetak.bangkapos.com)

Kamis, 23 April 2009

Dejavu Orde Baru



Saat rehat setelah usai menulis saya membuka email yahoo saya yang jarang ditengok setelah saya memiliki gmail yang lebih cepat. Sebuah email dari Mbak Khofifah Indarparawansa masuk, dikirim oleh teman saya yang orang dekatnya.

Saya buka dan cermati. Intinya mantan Menteri Peranan Wanita ini menilai pemilu legislative 2009 ini jauh dari azas jurdil. Banyak kecurangan dan masalah.

Bahkan dia menilai pemilu Orde Baru lebih baik dari pemilu saat ini. Menuruit dia, Kasus DPT Pileg dan sistmetiknya kecurangan yang terjadi bukti nyata bahwa orde zaman Soeharto berkuasa ternyata lebih baik daraipada orde reformasi.

Alasannya, pada saat orde baru dulu, Undang-undang Dasar (UUD) tak mencamtumkan asas jurdil (jujur dan adil) dalam Pemilu, hanya luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) saja.

Artinya menurut dia, Orde Baru sadar bahwa dia tidak akan bisa jurdil, sehingga hanya pakai asas luber. “Lah, saat ini pakai luber dan jurdil, tapi pada kenyataannya tak ada kejujuran dan keadilan,” ungkapnya.

Lalu Mbak Khofifah juga memaparkan masalah DPT yang memang cukup menjadi duri di penyelenggaraan pemilu kali ini. Mungkin sekilas nada pernyataan Ketua Umum Muslimat NU ini terlihat emasional.

Apalagi kalau kita lihat sedikit ke belakang Mbak Khofifah sempat dirugikan oleh DPT saat pilgub Jatim lalu. Manipulasi DPT yang diduga sistematis itu telah menggagalkannya jadi gubernur.

Saya masih ingat saat dia melakukan konfrensi pers dengan bukti-bukti ditumpuh sangat banyak. Bahkan bisa setengah bak truk sampah jika dikumpulkan.

Namun saat itu suaranya tidak banyak didengar, atau didengar sambil lalu. Bahkan MK menolak kembali memproses kasusnya. Sampai sampai dia mengatakan hanya mahkamah akhirat yang akan membelanya.

Tetapi gaung menjadi lebih keras saat masalah DPT diungkap parpol. Aapalgi parpol besar seperti PDIP beberapa saat sebelum pileg. Masalah dan protes DPT semakin nyaring saat parpol yang kalah menilai masalah DPT sebagai kambing hitamnya. Kelompok Teuku Umar pun kemudian berdiri, dimotori PDIP, Gerindra, dan Hanura.

Politisi Hanura AS Hikam yang dulu juga pernah seperjuangan dengan Mbak Khofifah di PKB ternyata juga mengungkapkan pandangan senada tentang pemilu Orde Baru. Mantan Menristek ini menilai kecurangan dan masalah pemilu 2009 seolah mengembalikan praktek pemilu masa lalu saat Orde Baru.

“Ini seperti Dejavu Orde Baru,” ujar pria asal Tuban ini.

Akibatnya menurut Hikam wajar jika kelompoknya mengancam memboikot pilpres jika masalah itu tidak dijelaskan dan diselesikan. Dia mengatakan wajar saja ada ancaman memboikot pertandingan jika yakin hasilnya bisa diatur.

Soal boikot ini memang sempat membuat wacana pilpres satu pasang saja menjadi ramai. Bahkan ada usul perppu pilpres jika SBY ternyata hanya maju seorang diri, tanpa Mega atau yang lainnya.

Lalu apa komentar Pak SBY tentang ancaman Kelompok Teuku Umuar itu? Dia meminta Mega dan kawan-kawan tidak mengkuliahinya soal kecurangan. Dia mengaku merasakan hal yang sama di pemilu 2004 di mana dia bukan incumbent.

“Jangan galak-galak,” ujar SBY yang menyatakan statemen balasan di istananya.

“Galak dari mana, kalau di era demokratisasi yang begini masih belum galak lah,” ujar Hikam di tempat dan waktu yang berbeda.(dian widiyanarko)

Selasa, 21 April 2009

Kisah SMS Cawapres

sumber foto: presidensby.info
----------------------

Ada gula ada semut. Ungkapan itu cocok untuk kondisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini. Pak SBY memang ibarat gula yang sedang dikerubuti “semut-semut” yang ingin menjadi pendampingnya di pilpres mendatang.

Maklum saat ini sedang naik daun. Selain dalam berbagai survei popularitasnya masih tertinggi, partainya juga menjadi kampium di pemilu legislatif. Sebuah modal yang lebih dari cukup untuk sukses di pilpres.

Pak SBY pun sedang kebanjiran usulan. Tawaran dan masukan pun datang bertebaran baik dari partai maupun dari kalangan lain. Bahkan masukan lewat pesan singkat atau SMS dari berbagai kalangan pun membanjiri Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Achmad Mubarok mengungkapkan hal itu. Dia mengatakan SMS tersebut isinya beragam. “SMS masuk sangat beragam ada yang serius ada yang lucu-lucuan,” ungkap Mubarok.

SMS soal cawapres itu, lanjut Mubarok banyak yang menggelitik. Ada yang mengatakan kalau Indonesia mau besar SBY harus meng gandeng Akbar Tandjung. Sebab Akbar itu itu artinya besar.

Ada juga yang mengatakan kalau mau Indonesia jadi yang utama, harus gandeng Fadel Muhammad. Karena Fadel artinya utama. Dalam SMS yang tidak dirinci Mubarok datang dari mana itu juga ada nama Hidayat Nur Wahid juga masuk, alasannya agar Indonesia mendapat petunjuk, sebab Hidayat artinya petunjuk.

“Mungkin ada juga yang mengatakan kalau mau barokah harus gandeng Mubarok yang artinya berkah,” kata Mubarok berkelakar.

Mubarok mengatakan Pak SBY saat ini sedang menimbang masak-masak siapa yang akan dipilihnya nanti. Selain menimba masukan dari berbagai kalangan, SBY ternyata juga tidak mengesampingkan aspek spiritual.

SBY juga melakukan shalat istiqarah agar diberi petunjuk menentukan pendamping yang tepat. Pendamping yang tepat dibutuhkan SBY sebab jika terpilih kembali dia ingin melakukan kerja yang jauh lebih baik dari pemerintahannya saat ini.

Kriteria pun dibuat oleh SBY. Lima kriteria yaitu, integritas yang baik, kecakapan yang tinggi, loyal pada pemerintahan, diterima dan lekat di hati rakyat, dan bisa merekatkan koalisi agar kokoh.

Mubarok mengatakan lima kriteria yang disampaikan SBY itu ternyata juga bisa menjadi saringan terhadap berbagai usulan yang masuk. “Nyatanya dengan ada kriteria semua orang ngukur diri. Kemarin kan semua orang ingin. Sekarang semua mengukur diri,” ungkapnya.

Namun Mubarok enggan mengungkapkan nama-nama siapa saja yang dipertimbangkan SBY. Dia terus berkilah dan meminta public bersabar sampai SBY menjatuhkan pilihannya.

Lelaki humoris ini hanya bisa menjawab sementara pertanyaan itu dengan canda khasnya. “Bisa laki-laki bisa perempuan. Bisa tua bisa muda. Inisialnya panjang. Yang jelas warga negara Indonesia, bukan impor,” candanya.(dian widiyanarko)

Selasa, 14 April 2009

Bumbung Kosong

sumber foto: mediaindonesia.com
------------------------

Partai Golput menang. Itu yang dikatakan seorang kawan di halaman situs jejaring sosialnya di dunia maya. Teman saya itu hanya satu dari sekian orang yang berpendapat seperti itu.

Tingginya angka golput membuat orang menilai pemilu kali ini dimenangkan golput bukan Partai Demokrat yang dikabarkan menjadi jawara. Bahkan Wapres Jusuf Kalla terhenyak karena di TPS nya sekitar 60 pemilihnya tidak hadir alias golput.

Di TPS 07 komplek pejabat negara juga sama, dari 370an pemilih hanya 99 yang datang ke TPS. Di tempat lain, kondisinya juga tidak jauh berbeda.

Ada yang berkelakar mengatakan seruan Gus Dur masih didengar. Maklum Gus Dur lah tokoh yang menerikkan untuk golput karena dia tidak yakin pemilu tidak curang.

Masalah golput melengkapi noda penyelenggaraan pemilu 2009 ini. Melengkapi masalah yang bertumpuk seperti masalah yang tak lagi bisa dihitung jari.

Masalah DPT misalnya juga mempengaruhi banyaknya golput karena banyak rakyat tak bisa menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar.

Namun apakah masalah golput hanya semata masalah teknis karena masalah DPT atau pendataan. Tentu saja tidak. Banyak orang yang dengan sadar memilih untuk tidak memilih atau golput. Jadi ada dua golput ideologis dan golput teknis.

Golput sendir sebenarnya bukan hal yang baru dalam tradisi berpolitik kita. Kalau pemerintah penyelanggara pemilu, dan politisi kita menyerukan menghindari golput, justru tradisi politik kita mengajarkan golput.

Golput telah lama eksis dan dikenalkan di tradisi politik tingkat bawah. Dalam pemilihan kepala desa (pilkades) misalnya dikenal bumbung kosong. Bumbung kosong adalah tanda gambar kosong yang dimunculkan jika calon yang maju hanya satu orang atau calon tunggal.

Jika kondisi calon kades hanya satu orang dan tidak ada lawan, dia tidak bisa langsung memilih. Dia harus melawan “partai golput” yang berupa bumbung kosong itu. Jadi dalam surat suara ada dua gambar.

Tanda gambar calon kades, yang biasanya berupa gambar buah-buahan, dan gambar bumbung kosong yang biasanya berupa gambar kosong.

Nah jika yang banyak dipilih adalah bumbung kosong atau partai golput, maka si calon kades dinyatakan gugur. Dengan kata lain dia dianggap tidak legitimate. Maka dicari calon baru.

Jadi sejak di tradisi politik di tingkat bawah pun masyarakat sudah mengenai golput. Bahkan di institusi politik dasar itu eksistensi golput diakui.

Bumbung kosong atau golput hilang jika calon ideman muncul. Sama seperti golput di Amerika Serikat yang tinggi kemudian menurun dan masyarakat berbondong-bondong memberikan suaranya saat Barack Obama maju jadi capres. Perpolitikan kita sebenarnya tak kalah maju dengan Amerika. Di sana pilpres, di sini pilkades.

Jadi kalau ada pihak yang menyoal sikap golput, mungkin perlu belajar lebih jauh tradisi politik kita sampai ke akar rumput jangan hanya teori mengawang-awang. Atau kalau ada politisi yang mengeluhkan golput, mungkin energi keluhan itu sebaiknya digunakan saja untuk memperbaiki diri, dan sistem. Karena golput hadir bukan tanpa sebab.

Kamis, 09 April 2009

Pak Menteri Kaget Namanya Dua


Sofyan Djalil bergegas turundari mobilnya menuju ke TPS di depannya. Sembari menebar senyuman khasnya Meneg BUMN ini menyapa wartawan yang ada di depan TPS 07 Kompleks Pejabat Negara di Jalan Denpasar Raya.

Dia juga berbasa basi dan bertegur sapa dengan wartawan dan petugas sesampainya di depan TPS. Namun dia kaget saat wartawan memberitahunya soal DPT yang terpampang di depan TPS.

“Pak namanya ada dua pak,” kata wartawan. “Hah kok bisa,” ujar Sofyan kaget.

Lalu mantan Menkominfo ini melihat namanya di papan yang memajang DPT yang sebagian besar isinya adalah pejabat tinggi negara. Di sana memang nama Sofyan tercatat dua. Yang satu Dr Sofyan Djalil sedangkan yang lainnya Sofyan Djalil.

Lalu Sofyan mencermati dan membenarkan bahwa namanya ganda. Dia menilai hal itu mungkin kesalahan pendataan. Namun dia tetap heran ternyata namanya termasuk dalam DPT yang jadi masalah selama ini.

Setelah lama melihat DPT dan daftar caleg untuk referensi memilih, Sofyan kemudian memberikan suaranya. Setalah mencontreng di bilik suara komplek menteri itu dia kembali mengemukakan tentang namanya yang ada dua itu.

“Gak tau itu memang masalah yang orang banyak kritik. Ini harus kita perbaiki, kedepan harus dipebaiki ini,” ujarnya.

Sofyan yang tampil santai dengan kaos polo dan celana pantaloon krem itu mengatakan walau dobel namanya di DPT dia memastikan hanya satu suara yang digunakan. Selain itu undangannya juga cuma satu.

“Yang diundang yang Dr atau yang tidak,” canda para pencari berita. Menanggapi candaan itu Sofyan hanya bisa tertawa lebar, “Ha.ha.ha,”.

Dalam kesempatan itu Sofyan juga sempat menceritakan bahwa dirinya sebelum memilih tadi melihat-lihat secara cermat caleg yang ada. Dia hanya akan memilih mereka yang kompeten untuk DPR lebih baik.

“Saya cari-carai untuk DPR yang lebih baik, ada yang kenal,” ujarnya.

Tak hanya itu keunikan di TPS para pejabat itu. Sebab ternyata ada pemilih yang mempercayai orang mati.

Hal ini terjadi karena saat penghitungan suara DPD ternyata ada satu suara yang memilih caleg Fadholi El Munir. Padahal caleg yang memimpin Forkabi itu baru saja meninggal beberapa waktu lalu.

“Wah ada juga ni yang milih orang mati,” celetuk petugas keamanan TPS.

Petugas dan pengunjung yang memadati TPS 07 pun tak kuasa Manahan geli dan tersenyum simpul. (dian widiyanarko)

Senin, 06 April 2009

Gebuk Menggebuk (Capres) di Facebook


Wajah Megawati Soekarnoputri terlihat sedikit cemberut, sepasang tanduk merah mengiasi kepalanya. Foto tersebut menghiasi halaman grup bernama “Say “No!!!” to Megawati” yang beredar di situs jejaring pertemanan dunia maya Facebook.

Grup Facebook itu menunjukkan bahwa di masa tenang menjelang pemungutan suara ternyata masih terjadi serangan terhadap capres atau parpol. Jika sebelumnya saling serang hanya terjadi di panggung kempanye terbuka dan iklan politik, kali ini media dunia maya pun jadi panggung baru untuk gebuk menggebuk.

Dalam “Say “No!!!” to Megawati”, setidaknya saat tulisan ini dibuat, ada sekitar 86,000 superter yang mendukung di varian pertama dan 4,228 member di varian ke dua. Juga ada verian ke tiga bertajuk “Tolak Mega” yang bergambar foto Mega dengan tanduk dan moncong putih dibuat mirip logo PDIP.

Entah pembuatnya terkait langsung atau tidak muncul juga grup “Say Yes to SBY”, yang dibuat lima varian. Member tiap varian tidak banyak hanya puluhan sampai ratusan.

Seperti sebuah reaksi balasan, kemudian juga muncul gebukan kepada SBY. Muncul grup lain di Facebook yang bernama “Say No To SBY”. Namun membernya hanya 142. Ada juga Say No to SBY-Kalla, say Yes to lainnya.

Capres lain juga tak lepas dari gebukan, ada juga Say No to Prabowo. Bahkan ada juga yang bernada plesetan seperti Say No to SBY/Mega say Yes to Saddam.

Pihak PDIP sendiri menilai grup di Facebook yang mendiskreditkan Ketua Umumnya tersebut adalah tindakan kekanak-kanakan. Politisi Muda PDIP yang juga Sekretaris Fraksi PDIP DPR Ganjar Pranowo menilai hal itu adalah cara menggebuk capresnya dengan cara yang tidak baik.

”Rakyat akan menilai, cara-cara yang baik akan diterima baik, cara-cara yang tidak baik akan diterima dengan tidak baik juga,” ujar Ganjar.
Ganjar yang juga aktif di Facebook ini mengatakan jika hanya grup biasa tidak masalah. Namun jika mendeskreditkan seperti itu bisa terkena Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Apalagi di sana ada foto Mega dengan tanduk di kepalanya. “Kalau substansinya merugikan orang, ini pasti perlu diatur,” ujarnya.

Melakukan manuver politik di situs jejaring bukan hal yang baru, bahkan Presiden Amerika Serikat Barack Obama saat jadi capres juga memanfatkannya. Cara ini yang kemudian juga digunakan caleg dan capres Indonesia mempromosikan diri.

Pengaruhnya pada anak mudan dan masyarakat terdidik juga dinilai luar biasa. Wajar saja sebab sampai tanggal 15 maret 2009 anggota Facebook yang berasal dari Indonesia adalah 1.446.320 orang.

Potensi itu pula yang coba dimanfaatkan untuk gebuk menggebuk menjelang pemilu. Apalagi aturan tentang kampanye di media ini belum ada.

Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform Hadar Navis Gumay menyebut Facebook dan hal sejenis sebagai wilayah abu-abu. Wilayah ini yang lolos dari jeratan aturan perundangan karena tidak diatur di dalamnya.

Tentu saja sulit menertibkan di wilayah itu. Akhirnya hanya etika yang bisa berperan di wilayah itu. “Tinggal etika saja, siapa yang memakai etika tidak akan melakukan,” ujarnya.(dian widiyanarko)

Jumat, 03 April 2009

Pengamat Lawan Pemain



Wajah Sekjen DPP Partai Demokrat Marzuki Alie tampak cemberut. Di sebelahnya Pengamat Politik UI Boni Hargens bertubi-tubi mengkritik partainya dan presiden SBY.

Akhirnya Marzuki tak tahan juga dengan kritik pedas yang memerahka telinganya itu. Saat kesempatan diberikan oleh moderator Marzuki pun lantas menyerang balik Boni.

Dia menyindir pengamat yang bisanya hanya berkomentar padahal tidak pernah merasakan langsung permainan yang sesungguhnya. Ibarat pengamat bola yang selalu menyalahkan pemain padahal belum tentu bisa kalau disuruh bermain.

“Kita ini memang banyak orang pinter, banyak pengamat. Pengamat bola itu kan paling pandai tapi pemain bolanya sudah di bina siang malam tidak semudah itu,” ujar Marzuki.

Merzuki kemudian kembali membela partainya dan kebijakan SBY selama memerintah. Dia tidak sadar statemennya tersebut menohok Boni yang selama ini memang kerap mengkritik SBY. Boni bahkan mengajukan gugatan ke pengadilan dengan tuduhan SBY tidak memenuhi janji saat kampanye.

Suasana diskusi bertajuk Koalisi Pra dan Pasca Pemilu Legislatif menjadi memanas saat Boni tiba-tiba meminta kesempatan dan memprotes Marzuki.

Dia menyatakan tidak sepakat dengan pernyataan Marzuki soal pengamat bola yang menyudutkan pengamat seperti dirinya. Untuk menyerang balik, dia pun memakai analogi pemain dan pengamat bola.

“Kalau pemainnya tau aturan dan bisa melakukan dengan baik tidak perlu pengamat bola. Ini pemerintah tidak professional,” serangnya.

Boni lantas membeberkan ketidakprofesionalan pemerintah. Dia menunjukkan gigatannya pada pemerintah yang diacuhkan SBY. Hanya kuasa hukum JK saja yang menurut dia kooperatif mau hadir.

Kritikan dan hujatan pada pemerintah kemudian berhamburan dari mulut Boni. Marzuki pun tak tinggal diam, dia mencoba menangkis serangan bertubi-tubi dengan ekspresi wajah tegang.

“Saya hargai semnagat nak muda ini semangat mudanya untuk membangun baik, tetapi terkadang datanya kurang dilihat. Tapi saya hargai, anak muda untuk membangun,” ujar Marzuki.

Marzuki kemudian mengungkapkan lagi bahwa selama ini partainya dituduh curang. Padahal tuduhan yang sering datang itu tidak disertai data dan bukti.

“Jangan seolah Demokrat dituduh curang,” tukasnya.

Boni langsung menyela Marzuki yang duduknya persis di sebelah kirinya itu. “Kalau soal kecurangan, saya bisa berdebat kenapa kalau tidak ada kecurangan kapolda (Jatim) Herman itu mundur,” sergahnya.

Tak di situ saja, Boni pun mempertanyakan iklan Demokrat yang sering muncul. Padahal dana kampanyenya yang dilaporkan tidak sebanyak iklan yang ada.

“Itu iklan ini dari mana dananya. Kalau diaudit itu tidak sebanyak itu. Banyak banner disebar itu dari mana dannya. Non sens itu. Ini ada ketidakjujuran yang dibungkus rapi,” sergahnya.

Wasekjen DPP PKB Helmy Faishal Zaini yang juga jadi pembicara mencoba mendinginkan suara. Helmy yang duduk di sebelah kanan Boni mengambil mic dan mencoba menengahi keributan pengamat lawan pemain politik tersebut.

“Saya tengahi dulu ini Pak Boni dan Pak Alie yang panas. Yang salah kita sebagai bangsa yang tidak pernah lihat ini sebagai transisi,” kata Helmy.

“System masih acak kadul. Bersabarlah yang jadi pemain, rajinlah bermain. Pengamatnya juga yang sabar mengamati,” lanjutnya.

Namun upaya Helmy tidak mempan. Dua narasumber tersebut masih terus adu mulut di hadapan wartawan DPR yang mengikuti diskusi.

Akhirnya moderator bertindak tegas dan tidak mengizinkan mereka yang meminta kesempatan bicara. Lalu moderator pun menutup acara tanpa memperdulikan dua orang yang masih saja ribut walau disoraki hadirin.

Keributan baru berhenti saat acara ditutup. Para wartawan yang menyaksikan hanya bisa tersenyum simpul, dan ada yang berujar; “Pengamat dan pemain politik ternyata gak beda jauh sama pengamat dan pemain bola ya,”.